Selasa, 28 Februari 2017

Watashi wa anata ga inakute sabishī yoru ni (Disebuah malam ketika aku merindukanmu)


Langit berkabut, pukul setengah dua dini hari. Mataku masih saja sulit terpejam, hembusan angin dingin menusuk jauh ke dalam kulitku. Padahal tubuhku meringkuk dalam selimut yang cukup tebal. Kain gorden yang terbuka separuh membuat cahaya bulan dengan lancang masuk menerobos ke dalam kamarku dan membuatnya terang. Sejenak aku berfikir segelap ini kah ? Dan dalam kegelapan ini aku merasa nyaman.
Aku membalikkan tubuhku ke sisi lain, membelakangi jendela. Hatiku tidak merasakan apa apa, Aku sedang tidak memikirkan apapun. Tapi Aku masih saja terjaga dalam keheningan yang menyiksa ini. Disela hati yang hambar, sebenarnya Aku merasakan rasa sesak yang tak terhingga. Ini bukan tentang mata yang tak bisa di ajak kompromi dengan waktu, atau dingin yang berpadu dengan heningnya malam sehingga membuat kesepian ini begitu bergelayut dalam anganku. Aku meraba dada yang naik turun tak ber irama, ada apa denganku?
“Tokk..Tokk..Tokk..” kudengar kaca jendela di ketuk oleh seseorang. Aku menggeser badanku dan mencoba melihat bayangan dari tempatku berada.
“Ken?” suara ku begitu serak dan bergetar ketika menyebutkan nama itu. Tapi, apakah itu benar dia?
Seraut wajah memucat 2 meter di depanku semakin jelas terlihat. Aku berjalan kearahnya dengan langkah terseret. Dia tepat di depan jendela kamarku, dan tersenyum. Sungguh, apa yang lebih kurindukan daripada ini, tak akan ada. Aku mengambil langkah setapak demi setapak, sambil meremas gaun tidurku yang terlalu panjang kurasa. Dia ada disana, kemeja putih dan rambut cepak nan rapi kebanggaan nya.
“Edna..” Dia memanggilku. Suara yang selalu sama dan kurindu merdunya.
Aku berada tepat di depan jendela, sekarang tubuh kami hanya berbatas kaca bening lima mili meter yang separuh terbuka. Aku membuka jendela ini sepenuhnya, dia meminta tanganku. Mungkin saat ini aku hanya ingin mengikutinya, tak ingin memprotes apapun yang dia ingin lakukan. Aku melompat dari jendela, seperti beberapa tahun lalu sering kulakukan saat tak bisa tidur. Menunggui nya di taman belakang rumahku dan dia akan selalu datang untuk menemuiku. Namun kini berbeda, dia menjemputku. Dia merindukanku.
Ken menggandengku ke bangku kecil di taman belakang rumahku. Genggamannya sama eratnya seperti ketika ia pamit ingin pergi untuk mengejar apa yang ia mimpikan beberapa tahun silam. Di punggungnya itu bahkan aku masih mengingat begitu banyak air mata yang ku tumpahkan di situ. Kurasa dia selalu ada untuk bagian penting dalam masa aku hidup. Mungkin saja dia punya sepasang sayap malaikat di punggungnya.
“Kau mau menemaniku? Kumohon sebentar saja” pintanya. Ah bahkan dia selalu ambigu, dia selalu tau bahkan tanpa dia memintanya Aku sendiri yang akan bersedia untuk berada disisinya kapanpun dia mau.
Kurasa Aku tak perlu menjawab, Aku hanya ingin membagi malamku ini dengan dia, duduk disini, sesederhana itu saja.
“Kau tau, waktu itu Aku tak ingin pergi meninggalkanmu. Sendirian, Aku takut kau tak punya lagi bahu atau sekedar seseorang yang kau butuhkan untuk membagi sedihmu seperti yang biasa kau lakukan padaku. Aku tak masalah bila hanya menjadi bahu atau baju sekolahku akan selalu basah tiap pulang sekolah karena air matamu dan kau menangis di pundakku tiap kau ku bonceng dengan sepeda ku. Kau pun akan selalu tahu..” ucapnya dengan senyuman tipis nan tenang, mengenang masa masa yang tak mungkin lagi bisa kami bagi berdua.
“Aku, akan diam. Sedangkan kau bercerita tentang banyak hal keluh kesahmu. Aku tahu kau hanya butuh seseorang untuk mendengarkanmu, sesederhana itu pula aku akan bersedia..” kau selalu benar, menebak isi otakku dengan jitu, mengobrak abrik isi hatiku dengan semua kebenaran ini. Kau benar.
“Atau kadang kau akan bercerita dengan senyum yang amat ceria tentang Murid lelaki pemain Basket dan beberapa anggota Pecinta alam yang tinggi dan sangat tampan ketika mereka menyapamu dan memulai chat denganmu di malam malam sunyi. Aku bahkan tak ingat, betapa dulu aku ingin menjadi salah satu dari mereka untuk sekedar bisa membuatmu bahagia dan merasa spesial. Namun sekali  lagi Aku tersadar karena Aku hanya sahabatmu, sungguh Aku membenci rasa sayang untuk sahabatku sendiri yang pada akhirnya akan berubah seperti ini.” air mataku mulai meleleh, dua orang yang duduk bersebelahan kini betapa dulu adalah dua orang anak manusia yang sangat ingin bersama.
“Edna, kau bahkan tau bila Aku ini yatim piatu, sendiri, miskin dan terbuang. Namun kau selalu percaya Aku bisa merubah hidupku lebih dari yang ku kira. Aku berjuang, berkerja keras agar suatu saat ketika Aku menjadi Pria yang sukses Aku bisa menjadikanmu Pengantin wanitaku. Ku yakin kau akan setuju dengan ide ku ini, kau mau?” kumohon hentikan omong kosong ini Ken. Kau memiliki hatiku, cintaku, ragaku, mungkinkah kau bawa masa depanku bersamamu?
“Bolehkah Aku menyebutnya, bersamamu adalah masa terindah dalam hidupku Edna? Namaku Ken, dan kau harus mulai mengingatku mulai sekarang..” dia menoleh kearahku, sebuah senyum yang sama kulihat saat kita pertama kali bertemu kini ia mengusap pipiku untuk dua bulir air mata yang tak bisa ku sembunyikan jatuhnya.
“Untuk apa?” tanyaku, suaraku bergetar, pilu dan tak ingin ku dengar sendiri.
“Untuk masa lalu. Aku hidup di panti asuhan, seorang anak lelaki yang tak mengerti apa itu kasih sayang dan menyebut diriku sendiri yatim piatu, semenjak kecil sampai akhirnya aku bertemu ketulusan bersamamu. Dan kau membuatku mengerti segalanya. Untuk enam tahun sekolah menengahku aku berjuang menjadi yang terbaik bersamamu. Sekalipun, tak pernah kita berpisah untuk menjalani semua sendirian. Kau ada untukku, memberiku perhatian yang tak pernah ku dapatkan bahkan dari seorang ibu. Aku, berjanji pada diriku sendiri untuk menjagamu sebisaku. Aku tak merasakan betapa kecewanya ketika tak memiliki keluarga disisiku, asalkan Kau bersamaku tetap disampingku.” Mendengarkan dia bercerita tentang masa lalu membuat hatiku perih.
Hening, satu sama lain dari kami saling mengambil nafas dengan ritme yang berbeda. Kami membiarkan jeda di pertemuan pagi buta ini, membiarkan kabut menyelimuti satirnya kisah kami. Aku menoleh ke arahnya, sesaat kemudian dia melihatku. Dia memelukku, Aku terisak di pelukannya. Demi tuhan, pelukan ini yang ku inginkan. Hanya pelukan ini yang mampu menenangkanku, hanya pelukan ini yang bisa membuatku hidup untuk berkali kali masa terberat dalam hidupku.
“Kau percaya Aku tak akan membiarkanmu sendirian Edna?” dia bertanya padaku di sela isakanku di pundaknya. Wangi bau tubuhnya selalu sama dan membuatku semakin terisak.
“Kamu gak harus pergi buat buktiin ke Aku kalau Kamu bisa menjadi apa yang Aku mau. Kamu gak harus ngelakuin semua itu Ken!” Aku memeluknya semakin erat dan tanpa kusadari tangisan ini semakin meraung raung. Perasaan bersalah karena membiarkannya pergi kala itu benar benar sebuah mimpi buruk.
“Edna!!..Edna sudah Edna..” Seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Lepas Kak.. jangan ganggu Aku, Ken ada disini!” Aku melepaskan diri dari Kakak lelakiku, Lambang.
“Ken sudah meninggal Edna, Kamu harus sadar itu. Dengan Kamu meluk koran itu erat erat Ken nggak akan pernah kembali Edna.. Di pagi buta seperti ini sekalipun Ken nggak pernah akan kembali..” Suara Kakak ku meninggi berusaha menyadarkanku dengan tangannya yang berhasil merebut koran itu dariku.
Headline yang sengaja di tulis dengan font besar besar seakan membutakan mataku. Beberapa orang prajurit meninggal dalam sebuah perang saudara di sebuah pulau, senjata tajam melukai kepalanya yang saat itu berusaha mengamankan situasi. Seandainya saja Aku mampu bersamanya untuk saat terakhir di hidupnya.
“Edna Kau percaya Aku nanti bisa jadi seseorang yang Kau banggakan? Yang akan menjagamu?” pertanyaan seorang Anak Lelaki berseragam putih biru berusia belasan tahun yang hanya memiliki teman yaitu Aku.
Atau..
“Maukah Kau menikah denganku selepas Aku kembali nanti?” pertanyaan Ken yang hanya ku tanggapi sebagai lelucon disaat aku menghantarnya pergi dengan baju militer nya.
Dan untuk semua itu. Aku masih percaya kau akan kembali, jadikan aku pengantin wanitamu. Atau izinkan Aku bersama denganmu disebuah tempat bernama, keabadian.

“Waktu terus berlalu, hingga kusadari yang ada hanya Aku dan kenangan.
Masih teringat jelas senyum terakhir yang kau beri untukku”








Kediri

06/02/17

Rabu, 12 Oktober 2016

Pamit



Tidak ada yang lebih bisa membuat hatiku damai selain membaui wangi tanah dan sejuknya daun ketika hujan reda. Tiada yang mampu mengalahkan romantisnya gerimis ketika menyapa daun helai demi helai, lalu membuatnya basah dan seakan lupa bagaimana caranya gugur. Dan, dengan semua itu aku selalu berfikir betapa Tuhan sangat baik menuntunku untuk menemukan keajaiban demi keajaiban kecil dibawah rintik hujan. Sama seperti saat itu, Lima tahun lalu. Aku mengenalmu pada saat kelas tiga SMU. Dibawah rintik hujan aku berjalan pelan lalu bukan dengan sebuah pertemuan pertama yang ku harapkan indah, kau menabrakku dengan sepedamu yang kau ayuh kencang.
Hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan yang ingin dan dengan sadar berjalan di bawah hujan, selalu itu yang kau katakan. Dan kau selalu benar. Menebak dengan tepat dan sialnya dari semua kata kata mu yang membuatku sakit hati, tak pernah satu diantaranya yang mampu menggoyahkan rasa ku kepadamu. Di sini di bawah rintik hujan yang sama, aku berharap Tuhan menuntunku untuk menemukan sebuah keajaiban. Sekali lagi.
***
5 Tahun lalu..
“Aku Sandria..” kataku memperkenalkan diri.
“Hilda..” Jabatnya. Cuek sekali, rasanya aku perlu berfikir lebih dari seribu kali untuk setuju dengan keputusan Ayah dan Ibu membawaku pindah ke luar kota. Berkali kali aku pindah sekolah, dan ku kira ini yang terakhir karena ini memang tahun terakhirku berada di bangku SMU.
Pada dasarnya aku memang di takdirkan dengan sifat cuek yang terkadang sampai berpengaruh pada ekspresi muka dan membuatku terlihat menyebalkan. Bukan aku yang meminta dilahirkan dengan keajaiban semacam ini. Tunggu, keajaiban? Yah sebut saja begitu memangnya siapa yang akan perduli.
“Kamu murid baru?” Tanya seorang siswi dengan nada sinis menghampiri bangku ku.
“Iya, kenapa?” Aku balik bertanya.
“Mentang mentang murid baru jangan asal duduk dong.  Ini bangku udah ada yang nempatin..” katanya sambil membanting tas ku ke bangku lain.
“Biasa aja dong, lagian ini bangku milik semua yang sekolah disini. Dan aku bayar buat bisa duduk disini..” kataku tak kalah sinis nya.
“Jadi anak baru ini mulai berani!!” katanya sambil menarik kerah kemeja sekolahku. Sial, kenapa cewek bisa sekuat ini sih.
“Lepasin..!” kataku sambil berusaha melepaskan cengkramannya.
“Vida! Lepaskan!!” seorang guru perempuan bertubuh tambun tiba tiba datang dan menghentikan kegaduhan yang kami ( maksudku yang gadis sok kuat ini ) buat .
“Jangan pernah buat kegaduhan lagi! Kamu Vida! Jangan sok kuat di kelas, ini ruang belajar bukan arena Judo. Dan kamu Siswi baru, jangan pernah coba coba membuat keributan di sekolah ini!” kalo dia gak mulai sok kuasa aku juga gak bakal nyolot. Dan percayalah setelah hari pertama di sekolah baru yang sangat menjengkelkan, sepanjang hari ini adalah hari yang sangat sangat buruk.
Semua yang ada di SMU ini rasanya tidak ada yang ingin berteman denganku. Aku sama sekali tidak memiliki teman untuk sekedar bercerita kalau tadi ada yang hampir mencekik ku dengan satu tangan. Sejak aku dan keluargaku hidup berpindah pindah, aku memang tidak pernah benar benar memiliki sahabat dekat. Sulit rasanya mempercayai seseorang ketika belum benar benar mengenal siapa dia sebenarnya. Hanya ada beberapa akun di sosial media yang ku jadaikan tempat ku bercerita. Dan akhir akhir ini aku tersadar, mereka adalah maya. Bisa saja mereka tidak menolongku ketika aku benar benar hampir mati, karena mereka adalah maya.
Kelas berahir tepat pukul 3 sore. Teman sekelasku berhamburan keluar sementara aku bermalas malasan menyeret kaki ku meninggalkan ruang kelas. Rasanya hidupku membosankan, disekolah yang sangat menyebalkan juga di rumah dengan kedua orang tua yang selalu sibuk dengan setumpuk kertas dengan tinta tinta hitam juga handphone yang tak pernah berada jauh dari telinga mereka. Kapan mereka ada waktu untukku? Benar benar tidak ada yang ingin perduli denganku.
Tak terasa tetes demi tetes kecil gerimis berjatuhan dari langit, dan langit pun perlahan semakin menampakkan gumpalan awan hitam yang tidak terlalu pekat. Ahh aku selalu menyukai bau tanah yang disiram gerimis. Sebenarnya, dari semua hal yang ku benci di kota ini ada hal yang selalu membuatku jatuh cinta, hujan. Hanya hujan dan suasana romantis yang ia tebarkan setelahnya. Aku tak perlu naik kendaraan agar sampai ke rumah, aku mencintai setiap pohon rindang yang memayungi di sepanjang perjalanan antara rumah dan sekolah.
“Minggiiiiirrrrrrr........!”  Teriak seseorang dengan kencang di belakangku. Aku yang refleks mengikuti perintahnya tidak sempat lagi berfikir dan langsung menggir sehingga membuatku terjatuh. dan sialnya, genangan air hujan yang berada tepat di sampingku menyiramkan air kotornya ke seragam putihku. Ku lihat siswa laki laki itu menjatuhkan tubuhnya di pinggir jalan, aku baru sadar kalau rem sepedanya blong. Aku yang semula kesal karena perbuatannya mengurungkan niatku melabrak ia yang seenaknya mengotori seragamku.
“Kamu baik baik aja?” tanyaku sambil membantunya berdiri. Kulihat siku nya berdarah tergores batu batu kecil yang berserakan di sekitar tempatnya terjatuh. Dia memandangku seakan aku adalah spesies serangga baru saja ia identifikasi, aneh. Dan dia memang benar benar aneh, tidak mengucapkan sepatah kata pun dan dengan tidak bersalahnya langsung mengayuh sepedanya kembali. Apa tidak ada lagi yang lebih waras di kota ini?
***
Aku mengeringkan rambutku dan baru saja selesai mandi ketika aku melihatnya mendorong sepeda melewati depan rumahku. Jadi dia tetanggaku? Maksudku cowok yang kemarin mengotori seragamku. Aku segera bersiap berangkat sekolah dan berlari mengejarnya. Aku bisa melihat punggungnya meskipun dari jarak yang lumayan jauh.
“Hai..” nafasku tersengal karena berlari mengejarnya.
“Hai..” jawabnya cuek.
“Kamu satu sekolah sama aku deh kayaknya, luka jatuh kemarin udah baikan?” tanyaku. Ekspresinya datar, tidak ramah, tidak juga acuh, dan tidak termasuk kategori sombong. Dia sulit di tebak, tapi harus ku akui dia tampan.
“Lumanyan..” katanya sambil menunjukan siku nya yang terbalut perban.
“Namaku sandria..” aku memperkenalkan diri sambil terus berjalan mengikuti langkahnya.
“Lambang..”
“Maksudnya?”
“Namaku Herlambang, orang orang manggilnya lambang..” katanya sambil sedikit menarik sebuah senyuman kecil di dua sudut bibirnya. Aku suka senyuman itu, senyum ramah yang akhirnya ku temukan di kota baru ku.
“Kamu tau kan kita tetanggaan?” tanyaku membuka percakapan.
“Oh ya?”
“iya, dua rumah di depan rumahku..” jawabku.
“Aku juga tau kamu siswi baru 3 IPA 5..” katanya. Dia benar benar misterius.
Perjalanan yang ditempuh antara rumah ke sekolah membutuhkan waktu 15 menit berjalan kaki. Dan sepanjang waktu itu, aku menghabiskannya bersama lambang. Ternyata dia nggak se cuek itu, dia nyambung diajak ngobrol meskipun yah sedikit kaku. Dia menyukai berjalan kaki di pagi hari dan berangkat ke sekolah lebih awal karena suasana sejuk di sekitar sekolah hanya bisa di nikmati saat sendiri. Dia benar benar menyukai kesendirian. Gerbang sekolah sudah terlihat, dan itu menyudahi obrolan kami.
“Boleh kita ngobrol lagi?” tanyanya, seperti aku akan segera hilang dengan dua sayap imajiner yang hanya dia saja melihatnya.
“Kapanpun kamu mau. Kecuali jam 12 malem di atas pohon beringin ya..” kataku menggodanya. Dia tertawa kecil, memarkir sepedanya dan melambai kepadaku sebelum masuk ke kelasnya.
Seperti biasa, kelas 3 SMU merupakan kelas terakhir dari semua kejenuhan yang berpusat dari setumpuk latihan soal menjelang ujian nasional. Persamaan lingkaran dan garis singgung, suku banyak, algoritma sisa dan sekumpulan bab dari matematika yang membuat mata ku berkunang kunang. Aku menahan nafas lalu mengeluarkannya pelan pelan, sama seperti ibu ibu yang akan melahirkan. Rasanya akan selalu sama setiap aku melakukannya walau ber ulang ulang, tenang. Aku duduk di bangku pinggir lapangan basket yang sepi. Aku masih belum faham kenapa orang orang disini cuek sekali. Masih seperti kemarin tentunya, tanpa teman.
Aku menyandarkan punggungku ke bangku dan mulai membuka komik chapter terbaru yang baru kuterima kemarin malam. Rasanya sangat menyenangkan untuk menyingkirkan rumus rumus menyebalkan di buku latihanku itu.
“Hei..” Keluhku saat komik yang ku baca di rebut seseorang. Lambang, dia tersenyum. Oh tuhan jangan menatapku dengan senyuman itu.
“Jangan baca komik di sekolah ini, nanti kamu kena kutukan..” kata Lambang
“Lambang, harga beras hampir naik 500 rupiah tiap bulan dan kamu masih percaya kutukan..” aku mengrenyit dan menatapnya aneh.
“kamu lihat cowok yang baru masuk? Namanya Adrian, dia jago banget main basket..” Lambang mengarahkanku untuk melihat cowok tinggi dan gak kalah cakepnya dibanding dia. Cowok itu berjalan memasuki lapangan dengan bola basket di tangan kanan nya.
“Terus?” tanyaku masih belum faham kenapa lambang membicarakan adrian.
“kamu hati hati sama bola itu. Kutukan komik.”  Lambang tersenyum simpul lalu beralih menatap buku latihan soalnya. Belum ada 5 menit setelah Lambang mengingatkanku, bola yang dimainkan adrian nyaris menghantam mukaku kalau saja tangan Lambang tidak menghadangnya. Tepat satu centi di depan hidungku. Aku menatap Lambang dengan pandangan aneh , campuran antara kagum, berterima kasih dan masih belum percaya kalau apa yang di katakannya tadi bena benar terjadi.
“Ikut aku, disini banyak kutukan yang gak baik buat kamu..” kata Lambang, lagi lagi dengan kata kutukan. Aku membereskan barang barangku dan mengikutinya dari belakang.
Dia mengeluarkan sepedanya, dan menyuruhku naik. Tidak bisa disebut dia memboncengku, karena aku berdiri dan menopangkan kaki ku di pijakan ban belakang. Sepeda lambang tidak ada boncengan, terpaksa aku harus berdiri dan menjaga keseimbangan tubuhku dengan memegang bahu lambang.
“Jujur ini baru pertama kalinya aku kayak gini, apa aku berat?” tanyaku kepada lambang sambil tertawa kecil, menikmati kekonyolan kami. Kami bukan anak kecil dan badanku tidak semungil dulu untuk di bonceng seperti ini.
“Lumayan..” jawabnya juga sambil tertawa kecil. Aku memukul pelan bahunya yang bidang.
Kami melewati pohon pohon rindang di tepi jalan, lapangan rumput dengan banyak domba putih berkejaran. Rasanya seperti berada dalam sebuah dongeng, aku hampir tak percaya di zaman modern dengan globalisasi yang menyentuh semua bidang, ternyata masih ada daerah se asri ini. Lambang mengayuh sepedanya dengan kencang saat melewati jalan menanjak, aku memegang pundaknya erat nyaris memeluknya. Tak terasa 15 menit aku berdiri di belakangnya, sama sekali tidak capek padahal biasanya aku paling suka mengeluh. Dia menyuruhku turun di jalan setapak dengan rumput hijau penuh bunga kesukaanku, dandelion.
“Kita harus jalan buat sampai di tempat yang aku maksud, gak pa-pa kan?”  tanyanya, aku terdiam. “Gak akan lama, trust me.” Katanya seakan bisa membaca fikiranku. Aku mengangguk pelan, sebenarnya aku bisa berjalan lebih jauh lagi tapi aku haus.
Aku dan lambang melewati jalan setapak yang hampir menyerupai bukit karena yang kami lewati semakin menanjak. Rumput rumput bergerak mengikuti arah angin, tak terkecuali dengan rambutku yang tergerai. Bunga bunga dandelion menebarkan awan awan kecil putih nan bersih, indah sekali.
“Kita sudah sampai..” kata lambang mengakhiri kekagumanku pada tempat ini.
“Danau?” tanyaku setengah tak percaya.
“iya danau..” tegas lambang.
“kok bisa.. ah.. eh maksudku ini kayak mimpi.. wah..” kataku kagum. Lambang hanya tersenyum. Aku berlari menuju tepian danau, seakan merayakan kebebasanku.
“Sandria jangan sentuh airnya, nanti kamu kena kutukan...” teriak Lambang dari jauh. Aku mengabaikan peringatannya walau dalam hati aku sedikit mempercayai itu. Dan astaga, airnya sejuk sekali. Tiba tiba gerimis kecil jatuh satu per satu, aku pun mundur perlahan. Aku menoleh ke arah lambang, sore ini cuaca cerah dan tiba tiba mendung lalu gerimis.
“Kutukan kedua..” kata lambang, lalu aku berlari ke arahnya yang berteduh di bawah pohon rindang. Hanya gerimis tidak hujan, tapi rasanya berbeda sekali.
“Aku kayak dapet keajaiban...” kataku sambil menengadahkan tanganku menangkap tetes demi tetes butiran air yang terjatuh dari langit.
“Kenapa kamu suka gerimis?  Setauku hanya gadis bodoh dan kekanak kanakan yang ingin dan dengan sadar berjalan di bawah hujan..” lambang berkata sambil tersenyum.
“Eh.. kenapa kamu bisa ngomong gitu?”  aku bertanya heran,  namun lambang hanya memberi jawaban lewat tatap matanya.
“Kamu pasti bakal nemuin satu momen dimana kamu bisa tenang untuk beberapa saat berada disitu, mencintai momen itu dan selalu berharap mengulang hal yang sama..” aku seakan bermonolog tentang sesuatu paling indah di dunia.
“mungkin aku udah nemuin momen itu..”
“Kok mungkin?” tanyaku, lagi lagi aku bermonolog karena sepertinya Lambang tak menghiraukan pertanyaanku dan berjalan ke arah lain, termenung disana untuk beberapa saat. Aku membenarkan posisi duduk ku dan baru sadar kalau aku menjatuhkan selembar kertas dari tas lambang yang ku senggol. Sebuah puisi.
“Lambang..” panggilku.
“Ya?” jawabnya sambil menoleh kearahku.
“Apa dengan kita bertemu, itu adalah sebuah kutukan?”

***
Ini adalah minggu minggu terakhirku berada di sekolah ini, sepertinya tidak ada yang bisa di ceritakan dari pengalamanku menghadapi teman teman sekelasku yang harus ku eja kembali per huruf saat aku ingin memanggil mereka teman. Karena bagiku teman yang benar benar ku anggp teman hanyalah Lambang. Kami berjuang bersama, belajar pagi-siang-malam selama beberapa bulan demi beberapa hari dalam satu minggu pada bulan april tahun ini. Dan minggu ini akan ada pengumuman kelulusan. Semua ini terasa seperti berproses melewati sebuah gerbang baru yang ajaib. Tapi bagiku hidup adalah melewati gerbang demi gerbang untuk menemukan sesuatu yang baru. Sebuah proses yang panjang untuk melewati hidup.
Sekarang aku terbiasa ke danau tempat aku dan lambang pertama kali menikmati gerimis dulu. Tidak ada mall, tidak ada cafe dan tempat hiburan modern di sekitar sini, kukira aku memang tidak memerlukannya. Aku mencintai danau dan hamparan rumput serta bunga bunga dandelion. Aku mencintai gerimis yang datang tiba tiba dan mengundang hujan untuk membasahiku sejenak. Lambang akan berada di sampingku saat aku tertawa atau bahkan saat aku menangisi semua kekesalanku, dia selalu ada untuk itu. Seperti sore ini.
“setelah hari kelulusan kamu akan pergi jauh..” kata lambang kepadaku. Dia selalu seperti ini, berbicara hanya dengan kalimat yang ia saja mampu memahaminya.
“Aku bahkan nggak tau setelah ini takdir membawaku kemana..” kataku.
“Dengan kita bertemu itu adalah kutukan...”
“Apa maksud kamu?” tanyaku seakan tak ingin mendengar apa yang baru saja lambang katakan.
“Aku nggak maksud..”
“Lalu setelah ini kutukan apa yang bakal aku dapetin?” tanyaku memotong perkataan lambang. Rasanya aku sedikit sensitif sore ini, Ayah merencanakan akan membawa aku dan ibu pindah ke kota lain. Aku berharap rencana ayah gagal dan sengaja tak menceritakannya pada lambang. Tapi dia tau, dia selalu tau tanpa harus aku bicara.
Aku tak bisa mendefinisikan bagaimana hubungan yang kami jalani sekarang, hampir satu tahun kami bersama. Hanya teman, tidak pernah kami ber ikrar lebih dari sekedar itu. Bukan sahabat, tapi lebih dari seorang teman. Bukan sepasang kekasih tapi kedekatan kami hampir memudarkan batas sebuah pertemanan biasa. Entahlah, aku pun sangat menyayanginya dalam waktu yang singkat ini. Kami bisa saling mengetahui isi hati masing masing hanya dengan tatapan mata. Tentu akan sangat berat meninggalkan orang yang begitu mengerti kita.
“Kamu bakal pergi..” kata Lambang pelan.
Tanpa jawaban aku memandangnya wajahnya, menusuk tepat di dua belah matanya. Perlahan mataku melelehkan air bening yang sangat ku benci datangnya. Aku memalingkan wajahku ketika tangan Lambang ingin mengusap air mataku yang telah terjatuh. Riak air danau yang tenang tidak lagi membuatku nyaman, dadaku sesak.
Tanpa kata aku meninggalkan Lambang di tepian danau, ku kayuh sepedaku cepat cepat secepat isakkanku yang mulai terasa menyakitkan. Sekali lagi ingin ku teriakkan di dalam otakku agar mendengung di ingatan : bahwa yang tak pernah dimulai tidak akan pernah menjadi sebuah kenangan. Selalu aku mencoba berusaha meyakinkan diriku sendiri kalau aku akan baik baik saja tanpa lambang. Akan baik baik saja, tetap baik baik saja.
***
Tapi pada kenyataannya,hati selalu menjadi bagian yang tak pernah bisa di bohongi. Ribuan hari tyan ku lewati tanpanya, entah tak terhitung lagi banyaknya rinduku untuk seseorang yang pertama kali mengenalkanku dengan apa yang namanya keajaiban. Ah entah apa namanya, kutukan aneh yang mungkin ku sebut keajaiban. Aku sendiri tak pernah berharap lebih,menemukan lagi sesosok lelaki seperti dia.
Dan bagaimanapun semuanya tidak bisa dilupakan, karena itu adalah sejarahku bukan sampah. Seandainya aku adalah penulis takdir hidupku sendiri, aku ingin membuat akhir yang indah untuk cerita ini ceritaku dengannya, lambang. Mungkin aku tak akan membiarkan lambang duduk memandangiku pergi dengan pipi basah setelah menangis. Mungkin aku bisa menahan emosiku yang sungguh meledak ledak. Dan, dari semuanya itu aku hanya ingin lambang memanggilku dan menghalangiku untuk pergi, itu saja. Bukankah selalu menyakitkan menjadi pihak yang ditinggalkan? Kenapa ia mau menjadi sosok itu.
Sekarang, setelah 4 tahun semuanya berlalu. Di gerbang SMU kami tempat pertama kali ia meminta pertemanannya denganku, semuanya masih sama. Hanya saja suasananya akan berbeda dengan tanpa dia disini, entah sejak kapan aku jadi melankolis seperti ini. Langit sedang mendung sekarang, pohon pohon yang rindang menambah kelabu suasana sore ini. Mungkin akan terlihat konyol seorang wanita muda di minggu sore mengenakan jubah hitam lengkap dengan toga nya berjalan sendiri di halaman SMU yang sepi.
Tapi ini aku, inilah aku. Lihat aku, aku bisa dan sangat berhasil menempuh masa kuliahku. Sarjana Teknik. Dengan 3.5 tahun kuhabiskan di perguruan tinggi negeri yang dulu sama sama kita impikan namun kau menghempaskan mimpimu dan membiarkanku terkatung katung sendirian menghadapi dunia mudaku. Kita bertemu bukanlah sebuah kutukan untukku, dan bukan sebuah musibah bagimu. Namun kau sendiri yang mengutukku, menciptakan jurang yang dalam untuk kita dan sengaja kau terjun di dalamnya.
Lambang, sekarang aku berada di gerbang SMU kita.Beberapa hari lalu aku mengunjungi tempat yang lebih sunyi dari danau mu yang kau bagi denganku dulu. Disana banyak manusia terlelap sangat lama dan menyerahkan semua ingin dan harapannya pada sebuah papan. Aku tak mengerti dengan semua perasaan yang mulai berkecamuk dalam dadaku. Sesak yang sejak aku meninggalkanmu tak ingin kurasakan lagi kini terulang padaku. Sejak itu aku merasa lebih baik meinggalkanmu saja. Biarkan aku bertemu dengan mu lagi di danau tempat kau berbagi puisi puisimu. Kau tau?  Terkadang aku berharap mendengar kutukanmu lagi, itu caramu menghindarkanku dari hal hal yang akan menyakitiku dengan menciptakan keajaiban kecil di dalamnya. Selalu di bawah rintik gerimis. Aku pamit ya, dibawah rintik gerimis yang sama kelak kita akan bertemu lagi.

 

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.





Bangkalan Oktober 2016

Senin, 25 April 2016

Pasangan Dansa Untuk Dani



Ini bukan kisah tentang cinta yang datang terlambat, tetapi tentang sebuah kesabaran untuk menunggu cinta itu..

Lia..
“Belom tidur Dek?”  tanya bang Dian sambil mengucek matanya.
“Belom bang, bentar lagi nih nanggung. Tugasnya kalo nggak selesai,  besok bisa gawat..” celetuk Lia sambil terus terusan menatap layar laptop  jari jari mungilnya menari nari diatas tuts keyboard. Padahal Lia sendiri udah capek banget nugas dari jam 8 malem sampe hampir jam setengah 2 pagi belom kelar.
“Udah Dek, tidur gih. Ini udah larut banget loh, besok Abang bangunin deh jam 4 subuh.”  bujuk bang Dian sambil memperhatikan layar monitor laptop Lia.
“Iya bang, bentar lagi juga udah selesai kok. Abang tidur aja sana, katanya besok ada kuliah pagi..” Lia merengek seolah olah ia meminta agar Abang kesayangannya ini secepatnya enyah dari kamarnya.
“Eh tunggu deh, itu kok ada nama Dani segala? Kamu ngerjain tugas punya Dani Dek?”  bang Dian mulai curiga. Lia segera menutup laptopnya.
“Apaan sih, enggak bang!!  Jadi Dani kan.. Dani kan satu kelompok sama Lia, ya Lia tulis dong namanya. Ahahaaha iya jadi gitu bang...”  Lia memutar otaknya mencari alasan.
 “Alesan, sini Abang liat..”
“Eittss, No..No..No..!!” Lia menutupi Laptopnya, Abangnya semakin mendekat..
“Suka ya sama Dani?”  Lia terdiam, sepasang matanya menatap ke arah lain. Lalu tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Ehmm, yaudah nggak apa apa sih kalo nggak mau ngaku...” Tiba tiba Bang Dian mendekatkan wajahnya ke telinga Lia “Tapi kemaren Abang udah baca buku diary Kamu..”  Kata Bang Dian sambil tersenyum aneh.
“Ih Abang ih..” Kata Lia sambil cemberut.  Bang Dian meninggalkan Lia dikamar sendirian sambil cengengesan nggak jelas ala ala dia, Lia melamun sebentar lalu segera merapikan meja belajarnya. Jam dinding udah nunjukin pukul 1 pagi lebih 45 menit “Tidur ahh..” kata Lia sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Lia hanya  hidup berdua dengan Abangnya di kota ini sejak setahun lalu. Setahun lalu Ayah mereka meninggal dunia, dan Bunda mereka pindah ke Semarang dan membuka usaha disana. Dan akhirnya tinggal mereka disini sendirian. Sebenarnya Bunda Lia sudah beberapa kali mengajak Lia buat pindah ke Semarang, tapi Lia selalu menolaknya. Entah kenapa, tapi sedikit banyak Dani cukup ambil bagian dalam hal ini. Yah, karena sebenernya Lia memang suka sama Dani. Sayangnya mereka hanya sebatas Sahabat. Dan Lia nggak punya sedikit keberanian untuk ngomong apa yang sebenarnya ia rasakan ke Dani. Hanya perhatian perhatian kecil yang mampu Lia berikan, dan Lia berharap suatu saat cinta Dani akan berpaling padanya. Suatu saat.
***
Dani...
Sinar mentari merangkak mencari celah lalu perlahan lahan masuk ke kamar Dani. Cowok kelas 2 SMA ini masih meringkuk dengan nyamannya di tempat tidur. Dani mulai menggeliatkan tubuhnya, matanya mengrejap ngrejap mulai terbuka. Hari baru, semangat baru buatnya. Dani bukan cowok yang pasif, dia selalu ceria apapun keadaannya. Tapi mungkin sifat kurang peka nya yang udah level keterlaluan, membuat orang orang disekitarnya sedikit uring uringan.
Dani mulai bangkit, lalu menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mandi. Dia harus segera berangkat ke sekolah secepatnya. Tak perlu waktu lama bagi Dani untuk sekedar mandi dan berdandan. Karena bagi Dani, sederhana aja udah keren. Kenyataannya emang keren sih.
“ Kamu nggak sarapan dulu sayang?” Tanya Mama Dani saat ia melangkahkan kaki melewati meja makan. Disana udah ada Papa dan kedua Adiknya menikmati sarapan. Dani tersenyum lalu mendekati Mamanya.
“ Ntar aja Ma di sekolah, lagian Dani ada tugas banyaaaak banget nih jadi harus buru buru..” kata Dani sambil mencium tangan Mamanya kemudian dilanjut Ke Papanya dan mengusap rambut kedua Adiknya.
“Ya udah, Dani berangkat dulu ya. Assalamu’alaikum..”  Kata Dani sambil berlari menuju garasi untuk mengambil motornya. Papa nya hanya bisa menggeleng nggelengkan kepala, anak remajanya itu semakin lama semakin besar, semaunya sendiri dan agak susah di atur. Anak jaman sekarang, fikirnya.
Dani mengeluarkan motornya dengan sedikit buru buru, Dani tau hari ini tugasnya lagi numpuk banget. Apalagi ditambah ulangan perbaikan karena nilai nilai Dani yang agak sedikit merosot karena terlalu sibuk dengan ekstra Pecinta Alam nya. Akhirnya Dani sampai di sekolah, udah agak ramai sih. Setidaknya dia nggak telat hari ini. Dia memarkir motornya lalu berlari menuju kelasnya yang letaknya cukup jauh dari parkiran. Dani sedikit ngos ngosan ketika sampai di kelasnya. Dia langsung menuju bangkunya.
“ Pagi Lia..” Katanya sambil mencoba menenangkan diri, dan mengambil nafas.
“ Kamu kenapa?” Tanya Lia dengan sedikit cemas.
“ Nggak apa apa Li, lagi panik aja tugasku kan belom selesai semua. Ini PR yang di suruh buat laporan itu juga belom aku selesai in. Mati dehhhhh...” kata Dani sambil mengusap keringat di jidat nya. Dani dan Lia memang se bangku dari kelas 10 dan mereka akrab banget. Dani nyaman sebangku sama Lia, karena Lia cantik, Karena Lia nggak bawel kayak temen temennya lainnya, karena Lia pintar, dan karena Lia nggak pernah komplain kalo Dani tiap kali dateng mesti ngos ngosan dan bau keringat kayak gini. Meski Dani agak nggak enak juga sama Lia, tapi Lia tetep tersenyum dengan manisnya. Dani suka Lia karena ramah, tapi mungkin Dani nggak tau bagaimana perasaan Lia kepadanya.
***
Harapan kecil Lia..

“Ini..” kata Lia sambil menyodorkan setumpuk kertas ber jilid kepada Dani. Lia berharap Dani mau menerima hasil usahanya semalaman.  Semalam suntuk ia mengerjakannya, dengan sedikit memukul mukul printer nya yang telah uzur dan sedikit memaksa saat menjilid sendiri tumpukan kertas itu.
“Ini...Ini bukannya tugas artikel itu ya? Yang nanti di kumpulin itu kan? Kok di kasih ke aku?” tanya Dani bingung.
“Iya jadi aku tau kamu nggak bakal ngumpulin tugas tepat waktu, jadi aku bantu in. Kebetulan semalem aku nggak sibuk jadi bisa nulis banyak” Kata Lia sambil tersenyum di akhir kalimatnya. Dani menatap wajah Lia sesaat, sampai akhirnya Lia memalingkan wajahnya karena takut pipi merahnya terlihat oleh Dani.
“ Aku nggak tau mesti bilang apa ke kamu Li, yang jelas kamu baik banget. Kamu selalu ada saat aku lagi butuh, makasih Li. Best friend..” Kata Dani sambil mengacungkan jari kelingkingnya, tanda sebuah perjanjian. Lia tersenyum, tersenyum kecut. Pada akhirnya pengorbanannya semalam di ikat dalam sebuah Best Friend. “Nggak apa apa lah, daripada enggak sama sekali” batin hati Lia.
Akhirnya Lia mengikat janji itu, mereka tersenyum. Lia berharap Dani menyadari sesuatu tentang perasaannya. Lia tetap tersenyum selagi masih ada Dani disisinya. Meskipun Dani nggak cukup tau banyak tentang kenyataan sebenarnya bahwa Lia jatuh cinta padanya. Lia senang melihat Dani tersenyum senyum saat membalik halaman demi halaman kertas yang di ketik Lia semalaman.
“Oh iya Li, lusa kan Amanda ulang tahun. Kamu mau nggak?” tanya Dani dengan nada pelan dan tatapan penuh harap pada Lia.
“Mau apa?” Lia bertanya, dia bingung. Pertanyaan Dani aneh.
“Aku belom punya pasangan, katanya ada pesta dansa juga. Jadi mau kan kamu ikut?” hati Lia bergetar, pasangan dansa untuk Dani? Siapa coba cewek  yang nolak kalo diajak ke pesta dansa sama cowok idamannya.
“Tapi Amanda kan temen satu SMP kamu dulu, aku nggak di undang Dan. Lagipula aku juga nggak terlalu kenal sama dia. Malu tau..” kata Lia sambil memalingkan wajahnya, jual mahal. Tapi yang dikatakan Lia tadi emang bener. Lia nggak di undang. Amanda itu cewek high class di sekolah ini, dia cantik, dia tajir, dia pintar, dan suka pilih pilih temen. Semua temennya rata rata orang kaya, tajir dan cakep cakep, salah satunya Dani. Dan Lia bahkan mungkin nggak terlihat olehnya karena keluarga Lia memang hanya keluarga sederhana, Lia bahkan hanya mampu membeli parfum yang menurut mereka paling murah.
“Kan Amanda ngundang aku, hak aku dong mau ngajak siapa. Mau ya?” Lia menatap Dani. Sungguh Lia ingin bilang Iya, tapi......
“Ya ampun Lia, makasih ya.” Kata Dani sambil memegang erat telapak tangan Lia. Lia meng-iya kan permintaan Dani, meski ada keraguan di hatinya.
“Terus aku mesti pake gaun gitu?” Tanya Lia, minder.
“Iya dong. Namanya juga pesta dansa Li, kamu itu cantik. Pakai pakaian apapun juga nggak bakal ngerubah wajah kamu ini..” kata Dani, hati Lia berbunga bunga.
Bel berbunyi dan Lia semangat menyambut pelajaran hari ini. Semangat!
***
Apa aku salah?

Dani menggoyang goyangkan telapak kakinya di dalam Air danau yang dingin. Sepasang matanya terpejam, sebenarnya dia bingung. Sangat bingung. Sepasang kaki itu semakin keras berkecimpuk di dalam air. Dani masih duduk di tepian danau, sambil sesekali menghembuskan nafas panjang nya.
Besok ulang tahun Amanda, teman satu SMP nya yang sekarang juga satu SMA dengannya. Nggak ada yang tau kalau sebenarnya Dani adalah mantan pacar Amanda semasa SMP dulu. Bagi Dani, Amanda lah cinta pertamanya. Mantan terindah nya. Dani susah move on, pernah dia berganti ganti pacar dan semua itu Cuma pelampiasan.
Sebenarnya Dani bisa saja ngajak Rania atau Lala sepupunya untuk menemaninya pergi ke pesta dansa itu. Tapi dengan begitu Amanda akan dengan mudah menganggap Dani belum bisa melupakannya dan semakin membuat Dani sakit hati tentunya. Akhirnya Dani memilih Lia, dia tau ada sesuatu yang berbeda dengan Lia. Saat Dani membutuhkan, Lia selalu ada untuk membantunya. Hanya Lia yang tetap setia bersamanya, itu wajar bagi status sahabat. Tapi Dani akhirnya tau kalau apa yang dilakukan Lia selama ini bukan hanya karena persahabatan. Dani tetap nggak yakin kalau ia memilih Lia karena rasa kasihan atau semacam acara balas budi, dan Dani merasa bersalah karenanya. Karena itu dia ada disini, dengan kebingungan di benaknya. Dani selalu berfikir kalau ia sedang menjadikan Lia sebagai pelampiasan, gadis itu terlalu baik untuk ia lukai. Cepat atau lambat, Dani nggak akan sanggup melihat kekecewaan pada wajah Lia. Ah betapa buruknya Dani.
***
Lia dan pesta dansa nanti malam..
Lia mengobrak abrik isi lemari pakaian nya, mencari cari gaun yang cocok untuk dikenakannya pada pesta dansa Amanda nanti malam. Kenyataannya Lia memang nggak punya banyak gaun yang cantik dan mahal. Hanya satu dua yang menurutnya lumayan, tapi gaun itu pun sudah lusuh dan baunya pun apak karena entah ia timbun berapa abad gaun itu di dalam lemari kayu nya.
Mata Lia tertambat pada sebuah gaun berwarna soft pink yang sangat cantik menurutnya. Lia ingat, ini kado ulang tahun dari almarhum Ayah tahun lalu. Lia menempelkan gaun itu di badannya yang kurus dan tinggi itu. Lia tersenyum, ia membayangkan berdansa dengan Dani. Khayalan yang sempurna.
Lia berdandan cukup lama sebelum ia akhirnya menyeret Abangnya buat nganterin Lia ke pesta dansa pertamanya. Abangnya agak cemberut saat diseret, tapi Lia tetap semangat untuk merayu Abangnya ini menghantarkannya. Mata bulat Lia berbinar binar saat Abangnya menganggukan kepala dan tersenyum kecut padanya.
“Itu blush On lu ketebelan deh..” protes Abangnya saat menyetir mobil uzur warisan eyang.
“Masak sih Bang? Enggak deh. Ini udah cantik tau...” Lia cemberut sambil memegang pipi chubby nya. Abangnya hanya geleng geleng kepala sambil tersenyum ringan.
“Ntar, pulang pesta Abang mau ngomong..”
***
Amanda dan kenangan milik Dani..

Dani memainkan kunci motornya di teras rumah Amanda. Ia duduk sendiri di bangku panjang. Kepalanya sebentar sebentar menoleh ke ujung jalan. Ia sedikit gugup menyambut Lia, pesta dansa sebentar lagi dimulai. Dani sudah hampir setengah jam menunggu Lia, jambulnya bergerak gerak tersapu angin malam. Kemeja putih yang ia kenakan tampak serasi dengan warna kulitnya yang cerah itu. Memang tak ada yang menyangkal kalau Dani benar benar tampan hari ini. Bahkan semua tamu undangan yang melewatinya pasti menoleh ke arahnya.
Lia sudah berkali kali di Sms, tapi tak ada satupun yang dibalas. Ah mungkin dia sedang perjalanan kesini, batin hati Dani. Seorang gadis rupawan dengan gaun panjang nan anggun berjalan kearahnya, langkahnya diatur. Kaki jenjang dengan sepatu high heels itu mendekati Dani. Ia menepuk pundak Dani, dia lah Amanda.
“Masuk yuk, udah ditunggu yang lain tuh di dalem..” kata Amanda sambil tersenyum kepada Dani, dia tetap seperti Amanda yang dulu Dani kenal. Amanda yang cantik, Amanda yang sempurna.
“Tapi gue nunggu pasangan dansa gue..” kata Dani gugup.
“Pacar ya?” kata Amanda, nada suaranya seperti sedikit kecewa. Dani ngerasa nggak enak kalau melihat Amanda sedih. Bagaimanapun juga Amanda pernah menjadi orang yang paling ia cintai. Dan mungkin sampai saat ini.
“Bukan, dia cuman pasangan dansa gue aja. Dia..dia sahabat gue..” Dani berat mengatakannya. Sebenarnya dia ingin dekat dengan Lia juga karena ingin melupakan Amanda, tapi sekarang di depannya ada Amanda yang mengajaknya masuk.
“Kalo gitu kita tunggu dia di dalem aja. Disini sepi, dingin juga. Di dalem,  ya?” rayu Amanda dengan senyuman yang selalu mampu meluluhkan hati Dani.
Dani dan Amanda memasuki halaman belakang rumah mewah nan megah itu. Kali ini suasananya beda dengan suasana suasana pesta ulang tahun pada umumnya. Ulang tahun Amanda ke 17 tahun memang di konsep sedemikian rupa seperti permintaan si tuan puteri. Dani mengaggumi setiap detail pesta ini. Dan Dani sepertinya lupa satu hal saat ia baru menyadari kalau Dress code nya warna putih bersih. Lia nggak tau hal ini, sementara Dani nggak sengaja tadi makai baju warna putih karena dia pikir itu baju yang cocok untuk pesta ini. Dia nggak kepikiran untuk membaca undangan itu dengan detail.
***
Tangis Lia...

Lia gugup saat akan keluar dari mobil. Dia nggak percaya diri akan memasuki rumah semegah ini. Bertemu dengan orang orang sebaya nya dari kalangan atas, dan tentunya berdansa dengan Dani.
“ Mau dijemput jam berapa?” Abangnya memecahkan suasana.
“Pake dijemput segala?” tanya Lia kaget. Nggak biasanya Abangnya seperti ini.
“Iya lah, ini kan pertama kalinya Kamu keluar malem sendiri Dek.”
“Abang, Lia udah gede tau. Masak mesti kayak Cinderella sih?” protes Lia.
“Pokoknya ntar kalo udah selesai, Nelfon atau SMS Abang. Byeee!!” kata Abang Lia sambil ngeloyor ninggalin Lia di pinggir jalan.
Lia berjalan memasuki rumah itu, ia langsung menuju ke halaman belakang. Lia yakin Dani pasti sudah menunggunya dengan panik di dalam. Lia tersenyum senyum sendiri saat membayangkan betapa paniknya Dani menunggunya. Sepertinya Acara tiup lilin sudah dimulai, Lia sedikit terlambat kali ini.
Lia berjalan melewati gerombolan Undangan berbaju putih, Gaun gaun mereka berwarna putih. Semuanya putih termasuk dekorasi pesta. Lia terus berjalan sampai ia berada hampir di pusat kerumunan undangan yang hadir. Sesekali Ia menangkap suara “Ih siapa sih Dia, norak banget dandanannya..” dan satunya lagi bilang “iya, kampungan banget gayanya. Udah berasa sok cakep apa pake gaun warna beda  gitu. Kan dress code nya warna putih.” Lia sadar kalo Dress code nya warna putih, Lia sangat malu. Tapi dia belum menemukan Dani sampai pesta dansa dimulai.
Itu Dani, dia dansa sama Amanda. Hati Lia hancur, entah berapa kali ia harus menahan malunya demi Dani. Tapi apa balasannya? Dani memilih dansa dengan Amanda! “Gue harusnya sadar gue ini siapa!!” teriak hati Lia. Lia berlari keluar dari pesta megah itu. Demi tuhan, Dani keterlaluan.
“Lia..!” teriak seseorang, yang Lia kenal itu suara Dani.
Lia tetap berjalan keluar, akhirnya ia sangat kecewa saat ia tau Dani sama sekali nggak ngejar dia. Tangan Lia merogoh kedalam tas tangannya, ia mencari Handphonenya. Lia baru ingat ternyata Handphone nya ketinggalan di rumah. Terpaksa ia jalan kaki sampai rumah, di perumahan elit seperti ini tentu nggak akan ada angkot yang numpang lewat.
Dandanannya berantakan. Rambutnya acak acakan, make up nya luntur disana sini karena air mata Lia terus mengalir. Nggak bisa dijelasin lagi betapa capek batin dan fisik Lia. Dia pulang jalan kaki dari rumah Amanda sampai rumahnya berjarak hampir 2 km.
“Kamu kenapa?!” tanya Bang Dian kaget sekaligus panik ngelihat adek satu satunya ini pulang ke rumah dengan keadaan compang camping gak jelas kayak gini. Akhirnya Lia ngejelasin semuanya.
“Besok kamu harus berangkat ke Semarang. Bunda pengen kamu pindah besok, kemaren Abang udah ngurusin surat pindah sekolah kamu. Mulai besok kamu nggak akan ketemu Dani lagi. Lia, dari awal Abang emang nggak suka sama Dani. Dia itu bukan cowok yang bertanggung jawab seperti yang ada di khayalan kamu. Liat kamu sekarang! Anak cewek, malem malem pake gaun jalan kaki 2 kilo meter dan si Dani nggak berbuat apa apa. Nggak punya pikiran apa gimana sih tu anak.” Kata Bang Dian kesal, raut mukanya kaku. Belum pernah Lia ngeliat Abangnya se marah ini. Kalau bisa diterjemahin, bahasa tubuh Bang Dian serasa kayak mau nonjok muka Dani.
“Tapi Bang..” kata Lia sambil terus melelehkan air mata.
“Udah kamu nggak usah nangis. Abang tau kamu sedih, tapi ini yang terbaik. Kalau kamu tetap disini yang ada kamu malah jadi pelampiasan Dani terus. Abang jadi curiga kalau perasaan kamu itu dimanfaatin sama Dani” Kata Bang Dian dengan kedua alisnya terangkat.
“Dia nggak gitu Bang..!!”  Bantah Lia.
“Abang nggak mau nerima alesan apapun..! Pokoknya besok pagi pagi setelah sholat subuh kita berangkat ke terminal.” Kata Bang Dian terakhir kali, sebelum ia berjalan masuk menuju ke kamarnya dan meninggalkan Lia sendirian di ruang tamu. Itu artinya Bang Dian udah fix sama keputusannya.
“Bang....!” panggil Lia, tapi Abangnya tetap tak mau menoleh ke arahnya dan membanting pintu kamarnya keras keras.
Lia sedih, sangat sedih malam ini. Antara kecewa dan semuanya beradu jadi satu. Padahal dia fikir semuanya akan berakhir indah malam ini. Tapi kenyataannya malah gini, Lia masuk kamar dan membersihkan badannya. Lalu ia mengambil secarik kertas dan menulis keluh hatinya ke Dani.
Lia harap, mulai besok Dani udah enyah dari fikirannya. “Selamat tinggal Dani” Kata Lia pada heningnya malam ini. Ia mulai menutup matanya dan berharap mimpi menghanyutkan semua kenangan buruk tentang ia dan Dani.
***
Tentang penyesalan dan Yang tertinggal...

“Nyari siapa?” Tanya Bang Dani. Dari nadanya sepertinya ia sangat kesal. Mengingat perlakuan Dani yang nggak perduli kepada adik perempuan satu satunya semalam sangat membuat hati Kakak Lia itu panas. Orang waras mana yang tega ngebiarin anak perawan jalan 2 kilo meter malem malem? Kecuali Dani.
“Nyari Lia bang, semalem gue belom jelasin apa apa sama dia..” kata Dani, kepalanya  tertunduk. Gurat penyesalan tampak di tiap sudut wajahnya.
“Lia nggak ada..” kata Abang Lia kesal, lalu ia membanting pintu ruang tamu dan semakin membuat Dani merasa sangat bersalah. Dani mengetuk pintu rumah itu lagi. Bang Dian membuka pintunya.
“Dari pertama gue ngeliat Lu, gue sama sekali nggak yakin kalo Lu cowok yang bisa bertanggung jawab! Gue nggak bisa lihat adek perempuan gue satu satunya, adek yang gue sayang, adek yang gue jaga kayak gue ngejaga nyawa gue sendiri lu sia siain. 2 kilo meter semalem Lia jalan kaki pulan dari pesta nggak penting lu itu, gue tanya ke elu cowok mana yang tega ngebiarin anak gadis jalan kaki 2 kilo meter malem malem hah? .Lia pindah ke semarang. Mulai besok dia nggak akan lagi ketemu sama Lu!” kata Bang Dian sambil meletakkan sebuah surat di depan kaki Dani lalu ia menutup pintunya lagi. Dani terdiam sesaat, seluruh sendi dalam tubuhnya terasa kaku. Betapa kejamnya dia.
Dani mengambil surat itu dengan hati yang remuk. Ada sesuatu yang membuat hatinya sesak dan menyesal. Tentang Lia, tentang ketulusannya, tentang apa yang ia berikan selama ini dan tentang betapa buruk balasan yang diberikan Dani kepadanya.

“ Dear Dani..
Pasti saat kamu baca surat ini kita udah jauh, Dan. Aku mutusin buat nggak menolak permintaan Bunda kali ini dan ikut Bunda ku pindah ke Semarang. Jujur Aku nggak betah lagi tinggal disini, terus terusan sendiri dan jadi yang tersisih terus menahan rasa yang tak pernah bisa terucap. Kali ini Aku pengen ngunkapin semuanya Dan. Aku tau kita sahabatan udah lama, tapi Aku sadar rasa yang Aku miliki bukan hanya sekedar itu.
Dari pertama kita bertemu, jujur Aku suka sama kamu. Tapi biar saja Aku yang simpan rasa ini dalam diam. Kamu tau Dan? Gimana sakitnya Aku tiap kali kamu cerita tententang seorang mantan kamu yang sampai saat ini kamu belum bisa lupain, meskipun Aku nggak tau siapa dia tapi akupun ngerasa sakit Dan. Kenyataannya semalam Aku baru tau, kalau dialah Amanda. Kamu nggak salah kok Dan, ini semua karena Aku yang nggak bisa ngejaga perasaanku sendiri. Sampai akhirnya Aku tersakiti dengan harapan harapan kecil itu.
Cewek itu juga manusia biasa, Dan. Dia bisa nahan sakit, tapi jangan sakiti dia. Dia bisa berjuang, tapi hargai perjuangannya. Adakalanya dia lelah dengan semuanya. Dan saat itu terjadi, kamu pasti menyesal kehilangan Dia. Dan dia adalah Aku, Biar jarak yang menghapus rasaku Dan. Semoga kamu bahagia disana, maaf aku belum bisa jadi Sahabat yang terbaik buat kamu Dani.
Lia ”

Dani sebenarnya ingin bilang ke Lia, kalau dia emang udah beneran Move on dari Amanda. Dan kejadian semalem hanya salah paham. Dani yang salah, harusnya semalem ia bisa lepas dari pelukan Amanda dan tetap bersama Lia apapun yang terjadi. Dani sekarang sadar siapa yang tulus mencintainya. Dan sayangnya saat ia menyadari semua itu, keadaan telah berubah. Dani melipat kembali surat itu dan menggenggamnya erat. Dani termenung di teras rumah Lia untuk sesaat, setetes air jatuh dari sudut kelopak matanya. Sekarang Dani tak dapat lagi menyentuh Lia, semua tentang Lia adalah hembus kenangan yang tak mampu ia hirup lagi. Sesak yang tak mampu ia tahan, dan akhirnya ia tersakiti dengan harapannya sendiri. Lagi.